Selasa, 09 Juni 2009

HOME





Bismillahirrohmanirrohim

Assalamualaikum Wr. Wb.

Selamat Datang Di Blog Kami yang merupakan salah satu tugas dari knowledge management.

Content dari blog ini terdiri dari menu home, mengenal saya. Blog ini berisi informasi tentang kurikulum dan pembelajaran, TIK, BHP, Full Day School serta Hot News. Seperti yang kita ketahui di dalam sebuah blog menu home dan mengenal saya merupakan suatu kebiasaan yang selalu ada di dalam blog begitupun dengan blog kami. Di blog ini kami menyajikan juga kumpulan dari informasi-informasi yang telah kami pelajari di dalam perkuliahan selain itu kami juga menyajikan berita terkini yang memiliki keterkaitan juga dengan bidang garapan kami. Alasan kami memilih kurikulum dan pembelajaran, TIK, BHP, Full Day School serta Hot News karena kami mengharapkan informasi-informasi yang telah kami dapat di perkuliahan dapat juga bermanfaat untuk teman-teman yang lainnya serta kami juga mengharapkan blog ini dapat dijadikan sebagai media knowledge sharing (berbagi pengetahuan) .

Semoga Blog Ini Bermanfaat Untuk Kita Semua…..

Selamat Menyelami Blog Kami _^^_



Kurpem

PENYUSUNAN KTSP

A. LANDASAN

o UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
o PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
o Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi
o Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
o Permendiknas Nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas Nomor 22 dan
Nomor 23 tahun 2006

B. PENGERTIAN

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun
dan dilaksanakan oleh masing- masing satuan pendidikan.

C. ACUAN OPERASIONAL PENYUSUNAN KTSP

1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
2. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan
kemampuan peserta didik
3. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
4. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
5. Tuntutan dunia kerja
6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
7. Agama
8. Dinamika perkembangan global
9. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
11. Kesetaraan jender
12. Karakteristik satuan pendidikan


C. 1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia

Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan
keperibadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan
semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak
mulia.

C. 2. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kemampuan peserta didik

Kurikulum disusun agar memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat,
kecerdasan intelektual, emosional, spritual, dan kinestetik peserta didik secara
optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.

C. 3. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan

Daerah memiliki keragaman potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman
karakteristik lingkungan, oleh karena itu kurikulum harus memuat keragaman
tersebut untuk menghasilkan lulusan yang dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan daerah.

C. 4. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional

Pengembangan kurikulum harus memperhatikan keseimbangan tuntutan
pembangunan daerah dan nasional.

C. 5. Tuntutan dunia kerja

Kurikulum harus memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik
memasuki dunia kerja sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan
kebutuhan dunia kerja, khususnya bagi mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi.

C. 6. Perkembangan ilmu pengetahuan , teknologi, dan seni

Kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

C. 7. Agama

Kurikulum harus dikembangkan untuk meningkatkan toleransi dan kerukunan umat
beragama, dan memperhatikan norma agama yang berlaku dilingkungan sekolah.

C. 8. Dinamika perkembangan global
Kurikulum harus dikembangkan agar peserta didik mampu bersaing secara global
dan dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain.

C. 9. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Kurikulum harus mendorong wawasan dan sikap kebangsaan dan persatuan
nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

C. 10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karekteristik sosial budaya
masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya.

C. 11. Kesetaraan Jender
Kurikulum harus diarahkan kepada pendidikan yang berkeadilan dan mendorong
tumbuh kembangnya kesetaraan jender.

C. 12. Karakteristik satuan pendidikan
Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri
khas satuan pendidikan.

D. Komponen KTSP

1. Tujuan Pendidikan Sekolah
2. Struktur dan Muatan Kurikulum (mata pelajaran. Muatan Lokal, Pengembangan Diri,
Beban Belajar, Ketuntasan Belajar, Kenaikan dan Kelulusan, Penjurusan, Pendidikan
Kecakapan Hidup, Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global).
3. Kalender Pendidikan
4. Silabus dan RPP

ISI / MUATAN
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
(KTSP)
KTSP DOKUMEN - I
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. TUJUAN PENDIDIKAN
BAB III. STRUKTUR DAN MUATAN KURIKULUM
BAB IV. KALENDER PENDIDIKAN
KTSP DOKUMEN - II
A. Silabus dari SK/KD yang dikembangkan Pusat (BSNP)
B. Silabus dari SK/KD yang dikembangkan Sekolah (MULOK, MAPEL TAMBAHAN)
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)
DOKUMEN - I
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang (dasar pemikiran penyusunan KTSP)
B. Tujuan Pengembangan KTSP
C. Prinsip Pengembangan KTSP
BAB II. TUJUAN
A. Tujuan Pendidikan (disesuaikan dengan jenjang satuan pendidikan)
B. Visi Sekolah
C. Misi Sekolah
D. Tujuan Sekolah
Bagaimana menyusun Visi, Misi, Tujuan satuan Pendidikan
• Tahap 1 : Hasil Belajar Siswa
Apa yang harus dicapai siswa berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
setelah mereka menamatkan sekolah?
• Tahap 2 : Suasana Pembelajaran
Suasana pembelajaran seperti apa yang dikehendaki untuk mencapai hasil belajar itu?
• Tahap 3 : Suasana Sekolah
Suasana sekolah (sebagai lembaga / organisasi pembelajaran) seperti apa yang
diinginkan untuk mewujudkan hasil belajar bagi siswa?
BAB III. STRUKTUR DAN MUATAN KTSP
Meliputi Sub Komponen :
1. Mata Pelajaran
2. Muatan Lokal
3. Kegiatan Pengembangan Diri
4. Pengaturan Beban Belajar
5. Ketuntasan Belajar
6. Kenaikan Kelas dan Kelulusan
7. Penjurusan
8. Pendidikan Kecakapan Hidup
9. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global
Catatan : Untuk Pendidikan Luar Biasa / Pendidikan Khusus ditambah dengan Program
Khusus
1. Mata Pelajaran
Berisi “Struktur Kurikulum Tingkat Sekolah” yang disusun berdasarkan kebutuhan siswa
dan sekolah terkait dengan upaya pencapaian Standar Kompetensi Lulusan.
Pengembangan Struktur Kurikulum dilakukan dengan cara antara lain :
o Mengatur alokasi waktu pembelajaran “tatap muka” seluruh mata pelajaran wajib dan
pilihan ketrampilan / bahasa asing lain.
o Memanfaatkan 4 jam tambahan untuk menambah jam pembelajaran pada mata
pelajaran tertentu atau menambah mata pelajaran baru.
o Mencantumkan jenis mata pelajaran muatan lokal dalam struktur kurikulum.
o Tidak boleh mengurangi mata pelajaran yang tercantum dalam standar isi.
2. Muatan Lokal
Berisi tentang : jenis, strategi pemilihan dan pelaksanaan mulok yang diselenggarakan oleh
sekolah. Dalam pengembangannya mempertimbangkan hal- hal sebagai berikut :
o Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler yang bertujuan untuk mengembangkan
kompetensi sesuai dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah.
o Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.
o Substansi yang akan dikembangkan, materinya tidak menjadi bagian dari mata
pelajaran lain, atau terlalu luas substansinya sehingga harus dikembangkan menjadi
mata pelajaran tersendiri.
o Merupakan mata pelajaran wajib yang tercantum dalam Struktur Kurikulum
o Bentuk penilaiannya kuantitatif (angka).
o Setiap sekolah dapat melaksanakan mulok lebih dari satu jenis dalam setiap semester,
mengacu pada : minat dan atau karakteristik program studi yang diselenggarakan
disekolah.
o Siswa boleh mengikuti lebih dari satu jenis mulok pada setiap tahun pelajaran sesuai
dengan minat dan program mulok yang diselenggarakan sekolah.
o Substansinya dapat berupa program keterampilan produk dan jasa, contoh :
- Bidang Budidaya : Tanaman Hias, Tanaman Obat, Sayur, Pembibitan Ikan Hias,
dan Konsumsi
- Bidang Pengolahan : Pembuatan Abon, Krupuk, Ikan Asin, Baso
- Bidang TIK dan Lain- lain : Web Desain, Berkomunikasi sebagai Guide, Akuntansi
Komputer, Kewirausahaan
o Sekolah harus menyususn SK, KD dan Silabus untuk mata pelajaran mulok yang
diselenggarakan oleh sekolah.
o Pembelajarannya dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran atau Tenaga ahli dari luar
sekolah yang relevan dengan substansi mulok
3. Pengembangan Diri
o Bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan
mengekspresik an diri sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, bakat, minat peserta
didik, dan kondisi sekolah.
o Dapat dilaksanakan dalam bentuk :
- Pelayanan Konselling (kehidupan pribadi, sosial, kesulitan belajar, karir)
- Pengembangan kreativitas, kepribadian siswa seperti : kepramukaan,
kepemimpinan, KIR, dan lain- lain
o Bukan Mata Pelajaran dan tidak perlu dibuatkan SK, KD, dan Silabus.
o Dilaksanakan melalui Ekstra kurikuler
o Penilaian dilakukan secara kualitatif (deskripsi), yang difokuskan pada “perubahan
sikap dan perkembanga n perilaku peserta didik setelah mengikuti kegiatan
pengembangan diri.
Contoh Penilaian pengembangan diri :
§ Kegiatan KIR, mencakup penilaian : sikap kompetitif, kerjasama, percaya diri dan
mampu memecahkan masalah dan lain- lain.
§ Kegiatan keolahragaan, mencakup penilaian : sikap sportif, kompetitif, kerjasama,
disiplin, ketaatan mengikuti SPO dan lain-lain.
o Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh guru, konselor, guru
BK atau tenaga kependidikan lain.
o Penjabaran alokasi waktu ekuivalen dengan 2 jam pembelajaran per minggu,
diserahkan kepada masing- masing pembimbing dan sekolah.
o Perlu dibuat program kerja yang sistematis dan komprehensif sebagai bagian dari
program kerja sekolah dan atau program kerja OSIS.
4. Pengaturan Beban Belajar
o Berisi tentang jumlah beban belajar per mata pelajaran, per minggu, per semester dan
per tahun pelajaran yang dilaksanakan di sekolah sesuai dengan alokasi waktu yang
tercantum dalam struktur kurikulum.
o Sekolah dapat mengatur alokasi waktu untuk setiap mata pelajaran pada semester ganjil
dan genap dalam satu tahun pelajaran sesuai dengan kebutuhan, tetapi jumlah beban
belajar per tahun secara keseluruhan tetap.
o Alokasi waktu kegiatan praktik diperhitungkan sebagai berikut : 2 JPL di sekolah setara
dengan 1 JPL tatap muka dan 4 JPL praktik diluar sekolah setara dengan 1 JPL tatap
muka.
o Sekolah dapat memanfaatkan alokasi tambahan 4 JPL dan alokasi waktu penugasan
terstruktur (PT) dan penugasan tidak terstruktur (PTT) sebanyak 0% - 60% per MP
(maks. 60% x 38 JPL = 22 JPL) untuk kegiatan remedial, pengayaan, penambahan jam
praktik, dan lain- lain sesuai dengan potensi dan kebutuhan siswa dalam mencapai
kompetensi pada mata pelajaran tertentu.
o Pemanfaatan alokasi waktu PT dan PTT, harus dirancang secara tersistem dan
terprogram menjadi bagian integral dari kegiatan belajar mengajar pada Mapel yang
bersangkutan.
o Alokasi waktu PT dan PTT tidak perlu dicantumkan dalam struktur kurikulum dan
silabus, tetapi dicantumkan dalam Skenario Pembelajaran Satpel.
o Sekolah harus menge ndalikan agar pemanfaatan waktu dimaksud dapat digunakan oleh
setiap guru secara efisien , efektif, dan tidak membebani siswa.
5. Ketuntasan Belajar
o Berisi tentang kriteria dan mekanisme penetapan ketuntasan minimal per mata
pelajaran yang ditetapkan oleh sekolah dengan mempertimbangkan hal- hal sebagai
berikut :
- Ketuntasan belajar ideal untuk setiap indicator adalah 0 – 100%, dengan batas
kriteria ideal minimum 75%.
- Sekolah harus menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) per mata pelajaran
dengan mempertimbangkan : kemampuan rata-rata siswa, kompleksitas, dan
sumberdaya pendukung.
- Sekolah dapat menetapkan KKM dibawah batas kriteria ideal, tetapi secara bertahap
harus dapat mencapai kriteria ketuntasan ideal.
6. Kenaikan Kelas dan Kelulusan
o Berisi tentang kriter ia dan mekanisme kenaikan kelas dan kelulusan, serta strategi
penanganan siswa yang tidak naik atau tidak lulus yang diberlakukan oleh sekolah.
Program disusun mengacu pada hal- hal sebagai berikut :
- Panduan kenaikan kelas yang akan disusun oleh Dit. Pembinaan SMA
- Ketentuan kelulusan akan diatur secara khusus dalam peraturan tersendiri
7. Penjurusan
o Berisi tenta ng kriteria dan mekanisme penjurusan serta strategi / kegiatan penelusuran
bakat, minat dan prestasi yang diberlakukan oleh sekolah, yang disusun dengan
mengacu pada :
- Panduan penjurusan yang akan disusun oleh Direktorat terkait.
8. Pendidikan Kecakapan Hidup
o Bukan mata pelajaran tetapi substansinya merupakan bagian integrasi dari semua MP.
o Tidak masuk dalam struktur kurikulum.
o Dapat disajikan secara terintegrasi dan / atau berupa paket / modul yang direncanakan
secara khusus.
o Substansi kecakapan hidup meliputi :
- Kecakapan pribadi, sosial, akademik dan atau vokasional.
- Untuk kecakapan vokasional, dapat diperolah dari satuan pendidikan yang
bersangkutan, antara lain melalui mata pelajaran mulok dan atau mata pelajaran
keterampilan.
o Bila SK dan KD pada mapel keterampilan tidak sesuai dengan kebutuhan siswa dan
sekolah, maka sekolah dapat mengembangkan SK, KD dan silabus keterampilan lain
yang sesuai dengan kebutuhan sekolah.
o Pembelajaran mata pelajaran keterampilan dimaksud dilaksanakan secara komprehensif
melalui kegiatan intra kurikuler.
o Pengembangan SK, KD, silabus dan bahan ajar dan penyelenggaraan pembelajaran
keterampilan vokasional dapat dilakukan melalui kerjasama dengan satuan pendidikan
formal / non formal lain.
9. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global
o Program pendidikan yang dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan lokal dan
kebutuhan daya saing global.
o Substansinya mencakup aspek : Ekonomi, Budaya, Bahasa, TIK, Ekologi, dan lain- lain,
yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik.
o Dapat merupakan bagian dari semua mata pelajaran yang terintegrasi, atau menjadi
mapel mulok.
o Dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan / atau satuan
pendidikan nonformal.
BAB IV. KALENDER PENDIDIKAN
Berisi tentang kalender pendidikan yang digunakan oleh sekolah, yang disusun sesuai dengan
kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan
memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam standar isi.

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)
DOKUMEN – II
SD / MI
A. Silabus Pembelajaran Tematik (Kelas I, II dan III)
B. Silabus Mata Pelajaran (Kelas IV, V dan VI)
C. Silabus Muatan Lokal dan Mapel lain (jika ada)
D. Silabus Keagamaan (khusus MI)
SMP / MTs
A. Silabus Mata Pelajaran (Kelas VII, VIII dan IX)
B. Silabus Muatan Lokal dan Mapel lain (jika ada)
C. Silabus Mapel IPA dan IPS Terpadu (Kelas VII, VIII dan IX)
D. Keagamaan (khusus MTs)
SMA / MA
A. Silabus Mata Pelajaran Wajib
- Kelas X (16 Mapel)
- Kelas XI, XII - IPA (13 Mapel)
- Kelas XI, XII - IPS (13 Mapel)
- Kelas XI, XII - BAHASA (13 Mapel)
B. Silabus Muatan Lokal
C. Silabus Keagamaan (khusus MA)
SMK
A. Silabus Mata Pelajaran Wajib
B. Silabus Muatan Lokal
PLB / PENDIDIKAN KHUSUS
A. Silabus Pembelajaran Tematik (Kelas I, II dan III : SDLB-A,B,D,E Semua Kelas SMPLB
dan SMALB : C,C1,D1, dan G)
B. Silabus Mata Pelajaran (Kelas IV, V dan VI : SDLB-A,B,D,E dan SMPLB dan SMALB :
A,B,D,E)
C. Silabus Muatan Lokal dan Mapel Lain (jika ada)
D. Silabus Program Khusus (untuk SDLB dan SMPLB).

MEKANISME PENYUSUNAN KTSP
Analisis:

• Kekuatan/Kelemahan
• Peluang /Tantangan
• Dokumen Standar Isi, SKL, Panduan KTSP
• Pembentukan Tim
• Penyususnan Draft
• Revisi dan Finalisasi
• Naskah KTSP Diberlakukan

o Penyusunan KTSP merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah / madrasah.
Kegiatan ini dapat berbentuk rapat kerja dan / atau lokakarya sekolah / madrasah dan /
atau kelompok sekolah / madrasah yang diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum
tahun pelajaran baru.
o Tahap kegiatan penyusunan KTSP secara garis besar meliputi : penyiapan dan
penyusunan draf, reviu, dan revisi, serta finalisasi. Langkah yang lebih rinci dari
masing- masing kegiatan diatur dan diselenggarakan oleh tim penyusun.

BHP

PRO KONTRA RUU BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP)

AKHIR TAHUN 2008 dan menjelang awal tahun 2009, Kisruh dunia pendidikan kembali berdentang belum lama ini. Yaitu pemerintah Indonesia membuka gebrakan baru di dunia pendidikan yaitu disahkannya Rencana Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan [RUU-BHP]. Pengesahan RUU BHP telah dilakukan pada tanggal 17 Desember 2008. Banyak pihak pro dan kontra terhadap pengesahan UU BHP. Mereka berbeda pendapat tentang produk Hukum Penyelenggaraan Pendidikan Formal. Fokus permasalahan yaitu terletak pada sistem pendanaan yang diatur dalam UU BHP. BHP menjadi sebuah kata yang begitu marak diperbincangkan, sehingga memunculkan pertanyaan sebenarnya apa sih BHP itu? Karena rasa penasaran dan keingintahuan saya mengenai konsep dari BHP itu sendiri maka saya browsing. Sehingga saya dapatkan beberapa definisi dari BHP. Dari beberapa definisi itu saya mencoba merangkumnya sebagai berikut:

Badan Hukum Pendidikan adalah sebuah Rancangan Undang-Undang yang berusaha melepaskan perguruan tinggi negeri (PTN) dari intervensi pemerintah dan mengizinkan pihak swasta untuk menanamkan investasinya di universitas-universitas negeri. Hal ini menyebabkan universitas negeri jadi “terswastanisasi”.

Eksistensi UU BHP merupakan bagian dari amanat UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, hal ini dikemukakan pada Pasal 53 UU Sisdiknas yang memerintahkan agar penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan agar ketentuan tentang badan hukum pendidikan ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.

Pihak pro dan kontra pengesahan UU BHP, di satu sisi mengganggap kehadiran UU BHP merupakan pencerahan bagi dunia pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia. Namun, di sisi lain justeru kehadiran UU BHP merupakan sebagai bentuk kapitalisme dunia pendidikan, yang berdampak pada liberalisasi penyelenggaraan pendidikan, dan menggambarkan penghindaran tanggung jawab kewajiban pemerintah pada dunia pendidikan.

Kembali ke definisi BHP itu sendirinya yang mana dinyatakan bahwa BHP itu dapat menyebabkan universitas negeri jadi “terswastanisasi”. Tahu sendiri kan kalau sudah ada investasi modal dari pihak swasta pastinya biaya pendidikan universitas-universitas negeri menjadi mahal donk pastinya? Pasti setiap orang bertanya-tanya jadi apa bedanya Universitas Negeri dengan Universitas swasta? Hal ini membuat mahasiswa menilai undang-undang ini akan menghilangkan tanggungjawab pemerintah yang semestinya berperan meningkatkan kualitas pendidikan. Mahasiswa juga menilai undang-undang ini kental nuansa kapitalis yang akan membuat biaya perkuliahan makin mahal.

Makanya hal ini menimbulkan reaksi yang keras dari ratusan mahasiswa di berbagai universitas. Seperti yang telah kita lihat berita-berita di televisi mengenai reaksi protes mahasiswa terhadap pemerintah dilakukan dengan cara berdemo yang malah akhirnya bukannya menghasilkan solusi malah yang ada menimbulkan kekisruan bahkan tindakan kekerasan dari pihak-pihak aparat kepada mahasiswa. Itulah jeleknya mahasiswa yang terkadang terkenal dalam menyelesaikan masalah selalu dengan berdemo. Padahal menurut saya ada cara lain yang dapat kita lakukan dalam menyelesaikan masalah BHP ini yaitu salah satu caranya dengan mengajak berdiskusi pihak perwakilan pembuat rancangan undang-undang BHP dengan berbagai perwakilan mahasiswa dari berbagai universitas. Dalam hal ini tentunya mahasiswa telah tahu konsep dan isi rancangan undang-undang BHP yang up to date dan mengantongi alasan yang kuat atas ketidaksejutuannya terhadap rancangan undang-undang BHP ini. Dengan cara seperti ini kan dapat menunjukkan namanya juga MAHASISWA berarti kan Maha nya Siswa jadi dalam menyelesaikan masalah harus menunjukkan bahwa kita itu orang-orang yang berpendidikan dimana dalam menyelesaikan masalah harus dengan akal bukan otot.

Balik lagi mengenai konsep BHP yang dilihat dari RUU yang sedang dibahas, kelahiran BHP dapat kita bilang sangat prematur, kita dapat analogikan seperti layaknya bayi yang lahir premature saja, belum waktunya untuk lahir namun dipaksakan untuk lahir sehingga setelah lahir pastinya akan memerlukan perawatan yang intensif, begitu pula halnya dengan rancangan undang-undang BHP, Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan bayi yang lahir premature dari rahim BHMN yang mana belum siap untuk lahir namun pemerintah sudah ingin melahirkan nya tanpa mempertimbangkan dampak-dampak yang akan di rasakan calon-calon penerus bangsa yang memiliki kualitas akademik yang tinggi namun tak mempunyai biaya. Hal ini bisa mematahkan semangat anak bangsa yang memiliki cita-cita tinggi namun tidak memiliki biaya.

Sedangkan kalau acuannya berdasarkan PP No.61/1999 yaitu, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai badan hukum, dasar hukumnya kuat tetapi sasaranya tidak tepat, karena dalam PP tersebut termaktub jelas hanya untuk empat perguruan tinggi negeri untuk UI, ITB, IPB dan UGM. Terus UPI dan Universitas-universitas Negeri lainnya Apa Kabar dan Gimana Status Badan Hukumnya? Dilihat dari uraian-uraian di atas mengenai BHP di lihat dari sudut definisi, konsep rancangan undang-undang BHP yang ditawarkan pemerintah, serta dilihat dari PP No.61/1999 semuanya menunjukkan kepentingan pemerintah saja tanpa memperhatikan nasib tunas-tunas bangsa selanjutnya, saya dapat berbicara seperti ini karena dari uraian di atas dapat kita ketahui tidak ada keuntungannya bagi mahasiswa atas di berlakukannya BHP ini malah yang ada sangat merugikan bahkan menghambat calon mahasiswa dan mahasiswa untuk menggapai cita-citanya yang tinggi.

Hal ini juga membawa efek yang tidak baik kepada siswa-siswi SMA yang sudah kelas tiga. Bagi siswa-siswi SMA yang sudah kelas tiga, rasanya sudah dapat bernafas lega. Pasalnya Ujian Nasional (UN) merupakan tahap akhir yang harus dirampungkan sudah terlaksana, tinggal menunggu pengumuman kelulusan pada pertengahan Juni mendatang. Namun, perasaan itu akan sedikit terganjal karena sebentar lagi mereka akan mengikuti ujian yang lebih dasyat lagi yaitu Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dalam perhelatan akbar ini, tentunya ada sisi yang berbeda. Dengan persaingan yang diikuti oleh seluruh alumni SMA se-Indonesia ini membutuhkan kesiapan psikologis, mental yang lebih maksimal. Kondisi psikologis perlu dijaga, jika mental benar-benar kurang, maka bersiaplah untuk tereliminasi. Begitu juga dalam menentukan pilihan. Hal ini sangat signifikan demi kelangsungan masa depan. Calon MaRu (Mahasiswa Baru) tidak asal coret saja dalam proses pengisian formulir pendaftaran. Semua keputusan mempunyai konsekuensi logis yang terus menyertai.

Jika yang dipilih adalah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berkualitas dan bonafit, maka jangan heran jika nantinya akan merogoh kocek dalam-dalam. Hal ini tidak akan menjadi masalah bagi kaum borjuis yang berdompet tebal. Begitu sebaliknya, kaum yang berfinansial miring akan terus tergiring kesamping hingga tak tersisihkan sama sekali.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana dengan anggaran APBN yang sudah dicanangkan sebesar 20% oleh pemerintah? Kenapa biaya pendidikan masih membumbung tinggi tak terjangkau? Padahal anggaran ini sudah naik sebesar empat kali lipat dari anggaran pendidikan dari tahun sebelumnya. Apalagi apabila rancangan undang-undang BHP benar-benar di tetapkan, gimana nasib calon tunas bangsa yang cerdas namun tidak memiliki biaya? Ironis, beberapa pola yang terkandung dalam RUU BHP justru memberi ruang sempit bagi seluruh elemen masyarakat untuk mengakses pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Predikat privatisasi yang terus mengekor pada sektor pendidikan sarat dengan pendekatan modal. Pendidikan sebagai salah satu pranata sosial kemasyarakatan yang dekat dengan publik tidaklah pantas demikian ini yang ada malah semakin melindas harapan mereka untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.

Sebagai bahan renungan dan refleksi terhadap dunia pendidikan akhir tahun 2008 dan memasuki tahun baru 2009, ternyata UU BHP menambah ’catatan merah’ dunia pendidikan di Indonesia. Maksud dan tujuan produk hukum UU BHP masih perlu diselidiki dan ditelaah kembali. Apakah ini merupakan suatu ’kemajuan’ atau ’kemunduran’ bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Sejatinya, pendidikan adalah hak bagi seluruh warga Negara. Oleh karena itu, seharusnya pemerintahlah yang paling banyak bertanggung jawab akan hal ini secara holistik. Bagaimanapun juga, negara akan dianggap mempunyai arti dan berperadaban maju jika kondisi pendidikan yang sedang dijalankannya tidak menimbulkan banyak masalah negatif. Hal tersebut merupakan dampak jangka pendek yang dapat dirasakan, namun dampak langsung dalam waktu jangka panjang adalah terjadi insolidaritas sosial. Maka sebaiknya pemerintah mempertimbangkannya lagi sebelum menyesal di kemudian hari. Semoga suatu kelak nanti anak bangsa kita dapat menjadikan pendidikan sebagai tulang punggung untuk membangun negeri, membangun kembali harkat dan martabat bangsa yang sudah terkoyak.

BHP Hanya untuk Sekolah Terakreditasi

Badan Hukum Pendidikan (BHP) hanya akan diterapkan pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang sudah berakreditasi. Dan sekolah berstandar internasional (SBI). "Tidak semua sekolah dasar dan menengah di-BHP-kan. Kalau sudah berakreditasi A, ya segera di-BHP," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Mansyur Ramly kepada Suara Pembaruan, Senin (15/12) lalu.

Dia mengatakan, tidak serta-merta setiap satuan pendidikan dasar dan menengah langsung berubah ke BHP. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. "SBI pun harus berstatus BHP," katanya.

Untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang belum memenuhi standar pendidikan nasional, pemerintah akan meningkatkan mutunya. Dalam BHP satuan pendidikan dasar dan menengah, pemerintah daerah akan menjadi organ representasi pemangku kepentingan. "Untuk pendanaan, tidak ada masalah. Karena baik pemerintah dan pemerintah daerah tetap bertanggung jawab," katanya.

Mengenai satuan pendidikan dasar dan menengah yang sudah menerapkan otonomi yang disebut manajemen berbasis sekolah (MBS), Mansyur menerangkan, BHP merupakan penegasan terhadap otonomi. "Dengan BHP, satuan pendidikan dasar dan menengah bisa menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk sekolah di luar negeri, tanpa dicampuri pemerintah," katanya.

Katanya pemerintah, tidak akan mengurangi tanggung jawabnya terhadap pendanaan pendidikan. Menurutnya, sesuai amanat konstitusi, pendanaan pendidikan kelak tetap menempatkan pemerintah sebagai pelaku utama. Pelaku kedua adalah masyarakat. Namun, kata "masyarakat" lebih menjurus dunia usaha, bukan orangtua peserta didik. Pelaku ketiga, bisa berupa lembaga-lembaga asing yang terpanggil berkontribusi. Pelaku keempat, barulah peserta didik. Tapi, itu merupakan jalan terakhir.

Dalam RUU BHP Pasal 8 Ayat (1) menyatakan, satuan pendidikan dasar dan menengah yang telah didirikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah serta telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan berakreditasi A berbentuk BHP. Pada Ayat (3) dinyatakan bahwa yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi diakui sebagai BHP penyelenggara.

Artinya, kata Mansyur, satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikelola oleh yayasan, sudah diakui sebagai BHP Penyelenggara. "Namun, sama saja, kalau belum memenuhi standar nasional pendidikan, ya belum di-BHP-kan. Sampai standarnya bagus," katanya.

Sementara itu, Pakar Hukum Perdata dari Universitas Katolik Parahyangan Johanes Gunawan, mengatakan, BHP di satuan pendidikan dasar dan menengah akan memampukan sekolah tersebut menjalin kerja sama dengan pihak luar untuk meningkatkan kualitas.

Full Day School

BENARKAH FULL DAY SCHOOL AKAN LAHIRKAN GENERASI YANG BERINGAS????

Psikiater Prof Dr dr LK Suryani, SpKj mengatakan, sistem belajar-mengajar seharian yang biasa disebut “full day school”, terbukti merusak mental siswa, ditandai berkembangnya generasi apatis dan beringas.

“Tanpa kita sadari telah lahir generasi beringas yang tidak peduli pada kepentingan umum, lingkungan, apalagi persoalan bangsa. Rasa nasionalisme terhadap NKRI pun dipertanyakan, ” katanya pada Seminar Guru “Memahami Perkembangan Mental Anak Didik” di Denpasar, Selasa (1/7).

Disebutkan bahwa upaya mengejar prestasi akademik hingga meraih berbagai juara merupakan hal yang penting, tetapi tidak boleh mengabaikan kebutuhan untuk bersosialisasi dengan orangtua, keluarga, maupun masyarakat.

Selain itu, penekanan pada studi juga harus diimbangi dengan waktu yang cukup untuk rileks, menikmati berbagai kesenangan, sehingga pertumbuhan otak kiri dan kanan akan seimbang.

Rileks dengan menonton televisi juga perlu, tetapi untuk usia anak-anak harus didampingi dan dibatasi. “Siaran televisi menyajikan hiburan instan yang membunuh kreaivitas. Menonton terlalu lama juga menimbulkan kelelahan yang berdampak apatis,” ucap Prof Suryani.

Di hadapan sekitar 200 guru SMP dan SMA pada seminar yang diselenggarakan Telkomsel bersama Dinas Pendidikan Propinsi Bali itu diingatkan agar orangtua tidak memaksakan putra-putrinya bersekolah di lembaga yang dinilai unggul dari sisi akademik saja.

“Berilah anak-anak keleluasaan untuk memilih tempat studi yang menyenangkan. Yang juga memperhatikan kebutuhan berkreasi, cukup waktu untuk bersenang-senang dan berkumpul dengan keluarga maupun masyarakat,” katanya.

Gurubesar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu mengingatkan bahaya lebih lanjut dengan terus berkembangnya generasi yang apatis dan beringas akibat tidak memahami tindakan dan perbuatan apa yang harus dilakukan di rumah dan di masyarakat.

“Di mana-mana kita dengar orangtua mengeluhkan perilaku anaknya. Tidak mengerti urusan rumah. Ini salah kita, salah lembaga pendidikan. Karena itu sistem `full day school` perlu segera dievaluasi,” pinta pendiri dan President CASA (Committee Against Sexual Abuse) itu.

Hal itu hanya bisa diperbaiki melalui pengembangan sistem pendidikan yang berimbang antara kebutuhan mengejar prestasi akademik dan keleluasaan berkreasi, bermain, bersosialisasi dan cukup waktu untuk rileks, tambahnya

MENAKAR KAPITALISASI “FULL DAY SCHOOL”

Pada pertengahan 1990 di Indonesia mulai muncul istilah sekolah unggul (excellent schools) yang tumbuh bagaikan jamur. Perkembangan ini pada awalnya dirintis oleh sekolah-sekolah swasta termasuk sekolah-sekolah Islam dengan ditandai biaya yang tinggi, fasilitas yang serba luks, elitis, eksklusif, dan dikelola oleh tenaga-tenaga yang di asumsikan profesional. Padahal sebenarnya sekolah-sekolah yang berorientasi elitis-eklusif ini pada dasarnya belum teruji keprofesionalannya. Indikasinya, terbukti dari adanya temuan penelitian Steenbrink (1986), seorang pastur dari Belanda yang sering mengkaji pendidikan Islam di Timur, tentang munculnya Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang bermutu tinggi di sejumlah kota besar di Indonesia yang mampu bersaing dengan sekolah dasar umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Gerakan keterunggulan (excellence movement) ini kemudian dikembangkan dan diejawantahkan oleh pengelola pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah) dalam bentuk-bentuk sekolah yang mempunyai trademark di masyarakat, yang corak dan ragamnya kini sedang berkembang dan menjamur. Misalnya; sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melakat pada sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.

Sekolah full day merupakan model sekolah umum yang memadukan sistem pengajaran Islam secara intensif yaitu dengan memberi tambahan waktu khusus untuk pendalaman keagamaan siswa. Biasanya jam tambahan tersebut dialokasikan pada jam setelah sholat dhuhur sampai sholat Ashar, sehingga praktis sekolah model ini masuk pukul 07.00 WIB pulang pada pukul 15.15 WIB. Sedangkan pada sekolah-sekolah umum, anak biasanya sekolah sampai pukul 13.00 WIB.

Sekolah dengan model ini sangat diminati dikalangan masyarakat modern yang nota bene mempunyai kesibukan di luar rumah sangat tinggi (bekerja), sehingga perhatian terhadap keluarga khususnya pendidikan agama anak-anak sangat kurang. Maka sekolah model ini dapat menjadi solusi alternatif bagi pembinaan kegiatan keagamaan maupun kegiatan lainnya untuk anak.

Usaha pengembangan sekolah model ini penting dilakukan, seyampang tidak meninggalkan aspek-aspek peningkatan mutu pendidikan. Misalnya: (1) pembinaan prestasi akademik harus selalu ditingkatkan dengan memberikan jadwal remedial secara kolektif atau secara individu bagi anak-anak yang kurang mampu dalam mengikuti pelajaran di kelas, sehingga anak benar-benar sangat menguasai pelajaran, (2) pembinaan prestasi non akademik melalui berbagai kegiatan ekstra kurikuler harus terus ditingkatkan. Seluruh potensi siswa sebisa mungkin dapat digali dan disalurkan serta diasah sehingga kelak setiap siswa dapat mempunyai bidang ketrampilan (bekal hidup) yang ditekuni secara profesional sesuai minat dan bakatnya, (3) peningkatan mutu dan kualitas tenaga pengajar, sarana prasarana belajar termasuk perpustakaan dan laboratorium serta sumber-sumber belajar lainnya, (4) memberikan teladan dalam melaksakan school culture sehingga siswa memiliki karakter yang tangguh dalam menjalankan keyakinan agamanya, dan (5) menjalin kerjasama antara sekolah dan masyarakat dalam meningkatkan mutu sekolah.

Sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Dalam konteks ini, pada prinsipnya model pengembangan sekolah full day yang dikembangkan oleh daerah maupun perorangan (yayasan) dicetuskan sebagai upaya untuk meningkatkan akses masyarakat, khususnya siswa dari keluarga miskin atau kurang mampu terhadap pendidikan yang berkualitas dalam rangka penuntasan wajib belajar sembilan tahun.

Nampaknya, dalam pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis, elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image” di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas. Padahal, sebenarnya dengan sistem ini hanya satu atau dua peserta didik saja yang dapat masuk dalam komunitas yang bernama sekolah full day.

Hemat penulis, full day school seharusnya tidak hanya bersifat transaksional yang semata-mata memuaskan kebutuhan stakeholders sekolah, melainkan lebih dari itu yang bersifat transformasional yang sangat menekankan prestasi sekolah pada pada tataran unggul (excellence), atau jika memungkinkan, diarahkan pada tataran prestasi yang lebih tinggi levelnya. Dengan kata lain, sekolah full day itu ditandai oleh peningkatan yang terus menerus prestasi akademik maupun non akademik.

Pelaksanaan full day school membutuhkan pemikiran-pemikiran analitis dalam penyusunan rencana strategik yang membutuhkan kemampuan prediktif berdasarkan data dan fakta, sehingga kebutuhan-kebutuhan pelaksanaannya dapat terpenuhi pada saat ini dan masa yang akan datang. Namun kunci keberhasilan full day school ini sebenarnya terletak pada kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam mengejawantahkan konsep-konsep ideal. Dengan kata lain, reliabilitas personal dan profesional para pengelola sekolah menjadi faktor dominan bagi tercapainya tujuan sekolah serta memberi kontribusi terbesar bagi peningkatan akses masyarakat, khususnya masyarakat miskin.

Hot News

KASUS PRITA YANG DIANGGAP MELANGGAR UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

Jakarta- Kasus yang menyeret Prita Mulyasari, pasien RS Omni International Tangerang yang ditahan lantaran 'mengeluh' di internet dikhawatirkan berbuntut panjang. Salah satunya terkait paradigma masyarakat terhadap UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kabag Humas dan Pusat Informasi Gatot S. Dewa Broto mengatakan, dengan kejadian tersebut, pihaknya khawatir jika gelombang penolakan terhadap UU yang masih seumur jagung itu bertambah besar.


"Terutama bagi sejumlah pihak yang kemarin menyatakan penolakannya terhadap UU ITE untuk dijadikan sebagai serangan balasan. Hanya saja isunya sekarang bergeser," ujarnya kepada detikINET, Rabu (3/5/2009).


Di awal kehadirannya, UU ITE memang langsung mendapat berbagai jalan terjal untuk diimplementasikan. Salah satu pasal yang paling diincar adalah Pasal 27 ayat 3, yang mengatur soal pembuatan dan pendistribusian informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Edy Cahyono, Nenda Inasa Fadhilah, Amrie Hakim, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), serta Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) adalah pihak-pihak yang sempat menggoyang isi UU ITE ini.
Namun jalan terjal UU ITE ini rupanya masih mampu dilalui. Dalam sidang terakhir, Mahkamah Konstitusi tetap menolak uji materi terhadap UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE ini.

Penerapan UU ITE Dalam Kasus Prita

Jakarta - Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) selaku pengawal UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menilai penerapan aturan itu pada kasus Prita Mulyasari tidak tepat. Semestinya sebelum memakai UU ITE itu, mesti di-clear-kan dulu pasal pencemaran nama baik dalam KUHP.

"Itu terlalu prematur, jangan UU ITE dijadikan primer. Pasal 27 ayat 3, sebetulnya untuk melindungi sebagai code of conduct. Yang perlu digarisbawahi itu kan harusnya diselesaikan dulu melalui KUHP, harus clear dulu," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Kominfo Gatot S Dewa Broto saat dihubungi melalui telepon, Kamis (4/6/2009).

Gatot juga ingin meluruskan mengenai UU ITE, pasal 27 itu sebenarnya untuk melindungi kepentingan publik dari IT sendiri, karena kalau tidak ada ranah hukum akan menjadi anarkis, orang akan mudah saling mengumpat.

"Ketakutan tidak perlu berlebihan karena UU ITE tidak berdiri sendiri, dia punya saudara kandung UU Telekomunikasi, ada pasal terkenal, pasal 40 disebutkan larangan untuk mengambil info atau mengambil jaringan informasi dari telekomunikasi. Hanya pada pasal 42 ayat 2 disebutkan pengecualiannya, untuk tujuan alasan penyidikan dan itu persyaratannya kuat karena ada izin tertulis dari kapolri dan jaksa," terang Gatot yang juga bertetangga dengan Prita di Bintaro, Tangerang.

Dia melanjutkan, UU ITE harus dipahami komprehensif jangan black and white karena akan menjadi momok bagi masyrakat. Diakui dia memang untuk sosialisasi masih perlu dikebut lagi.
"Baru sebagian saja aparat hukum yang sudah diberi sosialisasi," imbuhnya.

Sementara itu menurut praktisi internet Judith Monique Lubis, Pasal 27 ayat (3) UU ITE, mensyaratkan adanya unsur 'sengaja' dalam mendistribusikan infomasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.

"Sementara yang dilakukan Prita justru menyampaikan pesan kepada teman-temannya untuk berhati-hati dengan pelayanan rumah sakit ONMI agar kejadian yang dialaminya tidak terulang pada pasien lain. Justru prita seharusnya melakukan tuntutan berupa ganti rugi atas penanganan yang keliru dari rumah sakit Omni International, atau melakukan tuntutan pidana. Hal ini telah ditegaskan dalam UU Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999," jelasnya melalui surat elektronik.

Semoga kasus ini menjadi pelajaran bagi kita agar lebih berhati-hati dalam melaksanakan aktivitas ngeblog, bermilis, atau media-media publik lainnya.

Yuk ngeblog lagi!