Selasa, 09 Juni 2009

BHP

PRO KONTRA RUU BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP)

AKHIR TAHUN 2008 dan menjelang awal tahun 2009, Kisruh dunia pendidikan kembali berdentang belum lama ini. Yaitu pemerintah Indonesia membuka gebrakan baru di dunia pendidikan yaitu disahkannya Rencana Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan [RUU-BHP]. Pengesahan RUU BHP telah dilakukan pada tanggal 17 Desember 2008. Banyak pihak pro dan kontra terhadap pengesahan UU BHP. Mereka berbeda pendapat tentang produk Hukum Penyelenggaraan Pendidikan Formal. Fokus permasalahan yaitu terletak pada sistem pendanaan yang diatur dalam UU BHP. BHP menjadi sebuah kata yang begitu marak diperbincangkan, sehingga memunculkan pertanyaan sebenarnya apa sih BHP itu? Karena rasa penasaran dan keingintahuan saya mengenai konsep dari BHP itu sendiri maka saya browsing. Sehingga saya dapatkan beberapa definisi dari BHP. Dari beberapa definisi itu saya mencoba merangkumnya sebagai berikut:

Badan Hukum Pendidikan adalah sebuah Rancangan Undang-Undang yang berusaha melepaskan perguruan tinggi negeri (PTN) dari intervensi pemerintah dan mengizinkan pihak swasta untuk menanamkan investasinya di universitas-universitas negeri. Hal ini menyebabkan universitas negeri jadi “terswastanisasi”.

Eksistensi UU BHP merupakan bagian dari amanat UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, hal ini dikemukakan pada Pasal 53 UU Sisdiknas yang memerintahkan agar penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan agar ketentuan tentang badan hukum pendidikan ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.

Pihak pro dan kontra pengesahan UU BHP, di satu sisi mengganggap kehadiran UU BHP merupakan pencerahan bagi dunia pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia. Namun, di sisi lain justeru kehadiran UU BHP merupakan sebagai bentuk kapitalisme dunia pendidikan, yang berdampak pada liberalisasi penyelenggaraan pendidikan, dan menggambarkan penghindaran tanggung jawab kewajiban pemerintah pada dunia pendidikan.

Kembali ke definisi BHP itu sendirinya yang mana dinyatakan bahwa BHP itu dapat menyebabkan universitas negeri jadi “terswastanisasi”. Tahu sendiri kan kalau sudah ada investasi modal dari pihak swasta pastinya biaya pendidikan universitas-universitas negeri menjadi mahal donk pastinya? Pasti setiap orang bertanya-tanya jadi apa bedanya Universitas Negeri dengan Universitas swasta? Hal ini membuat mahasiswa menilai undang-undang ini akan menghilangkan tanggungjawab pemerintah yang semestinya berperan meningkatkan kualitas pendidikan. Mahasiswa juga menilai undang-undang ini kental nuansa kapitalis yang akan membuat biaya perkuliahan makin mahal.

Makanya hal ini menimbulkan reaksi yang keras dari ratusan mahasiswa di berbagai universitas. Seperti yang telah kita lihat berita-berita di televisi mengenai reaksi protes mahasiswa terhadap pemerintah dilakukan dengan cara berdemo yang malah akhirnya bukannya menghasilkan solusi malah yang ada menimbulkan kekisruan bahkan tindakan kekerasan dari pihak-pihak aparat kepada mahasiswa. Itulah jeleknya mahasiswa yang terkadang terkenal dalam menyelesaikan masalah selalu dengan berdemo. Padahal menurut saya ada cara lain yang dapat kita lakukan dalam menyelesaikan masalah BHP ini yaitu salah satu caranya dengan mengajak berdiskusi pihak perwakilan pembuat rancangan undang-undang BHP dengan berbagai perwakilan mahasiswa dari berbagai universitas. Dalam hal ini tentunya mahasiswa telah tahu konsep dan isi rancangan undang-undang BHP yang up to date dan mengantongi alasan yang kuat atas ketidaksejutuannya terhadap rancangan undang-undang BHP ini. Dengan cara seperti ini kan dapat menunjukkan namanya juga MAHASISWA berarti kan Maha nya Siswa jadi dalam menyelesaikan masalah harus menunjukkan bahwa kita itu orang-orang yang berpendidikan dimana dalam menyelesaikan masalah harus dengan akal bukan otot.

Balik lagi mengenai konsep BHP yang dilihat dari RUU yang sedang dibahas, kelahiran BHP dapat kita bilang sangat prematur, kita dapat analogikan seperti layaknya bayi yang lahir premature saja, belum waktunya untuk lahir namun dipaksakan untuk lahir sehingga setelah lahir pastinya akan memerlukan perawatan yang intensif, begitu pula halnya dengan rancangan undang-undang BHP, Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan bayi yang lahir premature dari rahim BHMN yang mana belum siap untuk lahir namun pemerintah sudah ingin melahirkan nya tanpa mempertimbangkan dampak-dampak yang akan di rasakan calon-calon penerus bangsa yang memiliki kualitas akademik yang tinggi namun tak mempunyai biaya. Hal ini bisa mematahkan semangat anak bangsa yang memiliki cita-cita tinggi namun tidak memiliki biaya.

Sedangkan kalau acuannya berdasarkan PP No.61/1999 yaitu, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai badan hukum, dasar hukumnya kuat tetapi sasaranya tidak tepat, karena dalam PP tersebut termaktub jelas hanya untuk empat perguruan tinggi negeri untuk UI, ITB, IPB dan UGM. Terus UPI dan Universitas-universitas Negeri lainnya Apa Kabar dan Gimana Status Badan Hukumnya? Dilihat dari uraian-uraian di atas mengenai BHP di lihat dari sudut definisi, konsep rancangan undang-undang BHP yang ditawarkan pemerintah, serta dilihat dari PP No.61/1999 semuanya menunjukkan kepentingan pemerintah saja tanpa memperhatikan nasib tunas-tunas bangsa selanjutnya, saya dapat berbicara seperti ini karena dari uraian di atas dapat kita ketahui tidak ada keuntungannya bagi mahasiswa atas di berlakukannya BHP ini malah yang ada sangat merugikan bahkan menghambat calon mahasiswa dan mahasiswa untuk menggapai cita-citanya yang tinggi.

Hal ini juga membawa efek yang tidak baik kepada siswa-siswi SMA yang sudah kelas tiga. Bagi siswa-siswi SMA yang sudah kelas tiga, rasanya sudah dapat bernafas lega. Pasalnya Ujian Nasional (UN) merupakan tahap akhir yang harus dirampungkan sudah terlaksana, tinggal menunggu pengumuman kelulusan pada pertengahan Juni mendatang. Namun, perasaan itu akan sedikit terganjal karena sebentar lagi mereka akan mengikuti ujian yang lebih dasyat lagi yaitu Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dalam perhelatan akbar ini, tentunya ada sisi yang berbeda. Dengan persaingan yang diikuti oleh seluruh alumni SMA se-Indonesia ini membutuhkan kesiapan psikologis, mental yang lebih maksimal. Kondisi psikologis perlu dijaga, jika mental benar-benar kurang, maka bersiaplah untuk tereliminasi. Begitu juga dalam menentukan pilihan. Hal ini sangat signifikan demi kelangsungan masa depan. Calon MaRu (Mahasiswa Baru) tidak asal coret saja dalam proses pengisian formulir pendaftaran. Semua keputusan mempunyai konsekuensi logis yang terus menyertai.

Jika yang dipilih adalah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berkualitas dan bonafit, maka jangan heran jika nantinya akan merogoh kocek dalam-dalam. Hal ini tidak akan menjadi masalah bagi kaum borjuis yang berdompet tebal. Begitu sebaliknya, kaum yang berfinansial miring akan terus tergiring kesamping hingga tak tersisihkan sama sekali.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana dengan anggaran APBN yang sudah dicanangkan sebesar 20% oleh pemerintah? Kenapa biaya pendidikan masih membumbung tinggi tak terjangkau? Padahal anggaran ini sudah naik sebesar empat kali lipat dari anggaran pendidikan dari tahun sebelumnya. Apalagi apabila rancangan undang-undang BHP benar-benar di tetapkan, gimana nasib calon tunas bangsa yang cerdas namun tidak memiliki biaya? Ironis, beberapa pola yang terkandung dalam RUU BHP justru memberi ruang sempit bagi seluruh elemen masyarakat untuk mengakses pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Predikat privatisasi yang terus mengekor pada sektor pendidikan sarat dengan pendekatan modal. Pendidikan sebagai salah satu pranata sosial kemasyarakatan yang dekat dengan publik tidaklah pantas demikian ini yang ada malah semakin melindas harapan mereka untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.

Sebagai bahan renungan dan refleksi terhadap dunia pendidikan akhir tahun 2008 dan memasuki tahun baru 2009, ternyata UU BHP menambah ’catatan merah’ dunia pendidikan di Indonesia. Maksud dan tujuan produk hukum UU BHP masih perlu diselidiki dan ditelaah kembali. Apakah ini merupakan suatu ’kemajuan’ atau ’kemunduran’ bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Sejatinya, pendidikan adalah hak bagi seluruh warga Negara. Oleh karena itu, seharusnya pemerintahlah yang paling banyak bertanggung jawab akan hal ini secara holistik. Bagaimanapun juga, negara akan dianggap mempunyai arti dan berperadaban maju jika kondisi pendidikan yang sedang dijalankannya tidak menimbulkan banyak masalah negatif. Hal tersebut merupakan dampak jangka pendek yang dapat dirasakan, namun dampak langsung dalam waktu jangka panjang adalah terjadi insolidaritas sosial. Maka sebaiknya pemerintah mempertimbangkannya lagi sebelum menyesal di kemudian hari. Semoga suatu kelak nanti anak bangsa kita dapat menjadikan pendidikan sebagai tulang punggung untuk membangun negeri, membangun kembali harkat dan martabat bangsa yang sudah terkoyak.

BHP Hanya untuk Sekolah Terakreditasi

Badan Hukum Pendidikan (BHP) hanya akan diterapkan pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang sudah berakreditasi. Dan sekolah berstandar internasional (SBI). "Tidak semua sekolah dasar dan menengah di-BHP-kan. Kalau sudah berakreditasi A, ya segera di-BHP," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Mansyur Ramly kepada Suara Pembaruan, Senin (15/12) lalu.

Dia mengatakan, tidak serta-merta setiap satuan pendidikan dasar dan menengah langsung berubah ke BHP. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. "SBI pun harus berstatus BHP," katanya.

Untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang belum memenuhi standar pendidikan nasional, pemerintah akan meningkatkan mutunya. Dalam BHP satuan pendidikan dasar dan menengah, pemerintah daerah akan menjadi organ representasi pemangku kepentingan. "Untuk pendanaan, tidak ada masalah. Karena baik pemerintah dan pemerintah daerah tetap bertanggung jawab," katanya.

Mengenai satuan pendidikan dasar dan menengah yang sudah menerapkan otonomi yang disebut manajemen berbasis sekolah (MBS), Mansyur menerangkan, BHP merupakan penegasan terhadap otonomi. "Dengan BHP, satuan pendidikan dasar dan menengah bisa menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk sekolah di luar negeri, tanpa dicampuri pemerintah," katanya.

Katanya pemerintah, tidak akan mengurangi tanggung jawabnya terhadap pendanaan pendidikan. Menurutnya, sesuai amanat konstitusi, pendanaan pendidikan kelak tetap menempatkan pemerintah sebagai pelaku utama. Pelaku kedua adalah masyarakat. Namun, kata "masyarakat" lebih menjurus dunia usaha, bukan orangtua peserta didik. Pelaku ketiga, bisa berupa lembaga-lembaga asing yang terpanggil berkontribusi. Pelaku keempat, barulah peserta didik. Tapi, itu merupakan jalan terakhir.

Dalam RUU BHP Pasal 8 Ayat (1) menyatakan, satuan pendidikan dasar dan menengah yang telah didirikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah serta telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan berakreditasi A berbentuk BHP. Pada Ayat (3) dinyatakan bahwa yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi diakui sebagai BHP penyelenggara.

Artinya, kata Mansyur, satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikelola oleh yayasan, sudah diakui sebagai BHP Penyelenggara. "Namun, sama saja, kalau belum memenuhi standar nasional pendidikan, ya belum di-BHP-kan. Sampai standarnya bagus," katanya.

Sementara itu, Pakar Hukum Perdata dari Universitas Katolik Parahyangan Johanes Gunawan, mengatakan, BHP di satuan pendidikan dasar dan menengah akan memampukan sekolah tersebut menjalin kerja sama dengan pihak luar untuk meningkatkan kualitas.

0 komentar: