Selasa, 09 Juni 2009

Hot News

KASUS PRITA YANG DIANGGAP MELANGGAR UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

Jakarta- Kasus yang menyeret Prita Mulyasari, pasien RS Omni International Tangerang yang ditahan lantaran 'mengeluh' di internet dikhawatirkan berbuntut panjang. Salah satunya terkait paradigma masyarakat terhadap UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kabag Humas dan Pusat Informasi Gatot S. Dewa Broto mengatakan, dengan kejadian tersebut, pihaknya khawatir jika gelombang penolakan terhadap UU yang masih seumur jagung itu bertambah besar.


"Terutama bagi sejumlah pihak yang kemarin menyatakan penolakannya terhadap UU ITE untuk dijadikan sebagai serangan balasan. Hanya saja isunya sekarang bergeser," ujarnya kepada detikINET, Rabu (3/5/2009).


Di awal kehadirannya, UU ITE memang langsung mendapat berbagai jalan terjal untuk diimplementasikan. Salah satu pasal yang paling diincar adalah Pasal 27 ayat 3, yang mengatur soal pembuatan dan pendistribusian informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Edy Cahyono, Nenda Inasa Fadhilah, Amrie Hakim, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), serta Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) adalah pihak-pihak yang sempat menggoyang isi UU ITE ini.
Namun jalan terjal UU ITE ini rupanya masih mampu dilalui. Dalam sidang terakhir, Mahkamah Konstitusi tetap menolak uji materi terhadap UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE ini.

Penerapan UU ITE Dalam Kasus Prita

Jakarta - Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) selaku pengawal UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menilai penerapan aturan itu pada kasus Prita Mulyasari tidak tepat. Semestinya sebelum memakai UU ITE itu, mesti di-clear-kan dulu pasal pencemaran nama baik dalam KUHP.

"Itu terlalu prematur, jangan UU ITE dijadikan primer. Pasal 27 ayat 3, sebetulnya untuk melindungi sebagai code of conduct. Yang perlu digarisbawahi itu kan harusnya diselesaikan dulu melalui KUHP, harus clear dulu," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Kominfo Gatot S Dewa Broto saat dihubungi melalui telepon, Kamis (4/6/2009).

Gatot juga ingin meluruskan mengenai UU ITE, pasal 27 itu sebenarnya untuk melindungi kepentingan publik dari IT sendiri, karena kalau tidak ada ranah hukum akan menjadi anarkis, orang akan mudah saling mengumpat.

"Ketakutan tidak perlu berlebihan karena UU ITE tidak berdiri sendiri, dia punya saudara kandung UU Telekomunikasi, ada pasal terkenal, pasal 40 disebutkan larangan untuk mengambil info atau mengambil jaringan informasi dari telekomunikasi. Hanya pada pasal 42 ayat 2 disebutkan pengecualiannya, untuk tujuan alasan penyidikan dan itu persyaratannya kuat karena ada izin tertulis dari kapolri dan jaksa," terang Gatot yang juga bertetangga dengan Prita di Bintaro, Tangerang.

Dia melanjutkan, UU ITE harus dipahami komprehensif jangan black and white karena akan menjadi momok bagi masyrakat. Diakui dia memang untuk sosialisasi masih perlu dikebut lagi.
"Baru sebagian saja aparat hukum yang sudah diberi sosialisasi," imbuhnya.

Sementara itu menurut praktisi internet Judith Monique Lubis, Pasal 27 ayat (3) UU ITE, mensyaratkan adanya unsur 'sengaja' dalam mendistribusikan infomasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.

"Sementara yang dilakukan Prita justru menyampaikan pesan kepada teman-temannya untuk berhati-hati dengan pelayanan rumah sakit ONMI agar kejadian yang dialaminya tidak terulang pada pasien lain. Justru prita seharusnya melakukan tuntutan berupa ganti rugi atas penanganan yang keliru dari rumah sakit Omni International, atau melakukan tuntutan pidana. Hal ini telah ditegaskan dalam UU Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999," jelasnya melalui surat elektronik.

Semoga kasus ini menjadi pelajaran bagi kita agar lebih berhati-hati dalam melaksanakan aktivitas ngeblog, bermilis, atau media-media publik lainnya.

Yuk ngeblog lagi!

0 komentar: