Selasa, 09 Juni 2009

Full Day School

BENARKAH FULL DAY SCHOOL AKAN LAHIRKAN GENERASI YANG BERINGAS????

Psikiater Prof Dr dr LK Suryani, SpKj mengatakan, sistem belajar-mengajar seharian yang biasa disebut “full day school”, terbukti merusak mental siswa, ditandai berkembangnya generasi apatis dan beringas.

“Tanpa kita sadari telah lahir generasi beringas yang tidak peduli pada kepentingan umum, lingkungan, apalagi persoalan bangsa. Rasa nasionalisme terhadap NKRI pun dipertanyakan, ” katanya pada Seminar Guru “Memahami Perkembangan Mental Anak Didik” di Denpasar, Selasa (1/7).

Disebutkan bahwa upaya mengejar prestasi akademik hingga meraih berbagai juara merupakan hal yang penting, tetapi tidak boleh mengabaikan kebutuhan untuk bersosialisasi dengan orangtua, keluarga, maupun masyarakat.

Selain itu, penekanan pada studi juga harus diimbangi dengan waktu yang cukup untuk rileks, menikmati berbagai kesenangan, sehingga pertumbuhan otak kiri dan kanan akan seimbang.

Rileks dengan menonton televisi juga perlu, tetapi untuk usia anak-anak harus didampingi dan dibatasi. “Siaran televisi menyajikan hiburan instan yang membunuh kreaivitas. Menonton terlalu lama juga menimbulkan kelelahan yang berdampak apatis,” ucap Prof Suryani.

Di hadapan sekitar 200 guru SMP dan SMA pada seminar yang diselenggarakan Telkomsel bersama Dinas Pendidikan Propinsi Bali itu diingatkan agar orangtua tidak memaksakan putra-putrinya bersekolah di lembaga yang dinilai unggul dari sisi akademik saja.

“Berilah anak-anak keleluasaan untuk memilih tempat studi yang menyenangkan. Yang juga memperhatikan kebutuhan berkreasi, cukup waktu untuk bersenang-senang dan berkumpul dengan keluarga maupun masyarakat,” katanya.

Gurubesar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu mengingatkan bahaya lebih lanjut dengan terus berkembangnya generasi yang apatis dan beringas akibat tidak memahami tindakan dan perbuatan apa yang harus dilakukan di rumah dan di masyarakat.

“Di mana-mana kita dengar orangtua mengeluhkan perilaku anaknya. Tidak mengerti urusan rumah. Ini salah kita, salah lembaga pendidikan. Karena itu sistem `full day school` perlu segera dievaluasi,” pinta pendiri dan President CASA (Committee Against Sexual Abuse) itu.

Hal itu hanya bisa diperbaiki melalui pengembangan sistem pendidikan yang berimbang antara kebutuhan mengejar prestasi akademik dan keleluasaan berkreasi, bermain, bersosialisasi dan cukup waktu untuk rileks, tambahnya

MENAKAR KAPITALISASI “FULL DAY SCHOOL”

Pada pertengahan 1990 di Indonesia mulai muncul istilah sekolah unggul (excellent schools) yang tumbuh bagaikan jamur. Perkembangan ini pada awalnya dirintis oleh sekolah-sekolah swasta termasuk sekolah-sekolah Islam dengan ditandai biaya yang tinggi, fasilitas yang serba luks, elitis, eksklusif, dan dikelola oleh tenaga-tenaga yang di asumsikan profesional. Padahal sebenarnya sekolah-sekolah yang berorientasi elitis-eklusif ini pada dasarnya belum teruji keprofesionalannya. Indikasinya, terbukti dari adanya temuan penelitian Steenbrink (1986), seorang pastur dari Belanda yang sering mengkaji pendidikan Islam di Timur, tentang munculnya Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang bermutu tinggi di sejumlah kota besar di Indonesia yang mampu bersaing dengan sekolah dasar umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Gerakan keterunggulan (excellence movement) ini kemudian dikembangkan dan diejawantahkan oleh pengelola pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah) dalam bentuk-bentuk sekolah yang mempunyai trademark di masyarakat, yang corak dan ragamnya kini sedang berkembang dan menjamur. Misalnya; sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melakat pada sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.

Sekolah full day merupakan model sekolah umum yang memadukan sistem pengajaran Islam secara intensif yaitu dengan memberi tambahan waktu khusus untuk pendalaman keagamaan siswa. Biasanya jam tambahan tersebut dialokasikan pada jam setelah sholat dhuhur sampai sholat Ashar, sehingga praktis sekolah model ini masuk pukul 07.00 WIB pulang pada pukul 15.15 WIB. Sedangkan pada sekolah-sekolah umum, anak biasanya sekolah sampai pukul 13.00 WIB.

Sekolah dengan model ini sangat diminati dikalangan masyarakat modern yang nota bene mempunyai kesibukan di luar rumah sangat tinggi (bekerja), sehingga perhatian terhadap keluarga khususnya pendidikan agama anak-anak sangat kurang. Maka sekolah model ini dapat menjadi solusi alternatif bagi pembinaan kegiatan keagamaan maupun kegiatan lainnya untuk anak.

Usaha pengembangan sekolah model ini penting dilakukan, seyampang tidak meninggalkan aspek-aspek peningkatan mutu pendidikan. Misalnya: (1) pembinaan prestasi akademik harus selalu ditingkatkan dengan memberikan jadwal remedial secara kolektif atau secara individu bagi anak-anak yang kurang mampu dalam mengikuti pelajaran di kelas, sehingga anak benar-benar sangat menguasai pelajaran, (2) pembinaan prestasi non akademik melalui berbagai kegiatan ekstra kurikuler harus terus ditingkatkan. Seluruh potensi siswa sebisa mungkin dapat digali dan disalurkan serta diasah sehingga kelak setiap siswa dapat mempunyai bidang ketrampilan (bekal hidup) yang ditekuni secara profesional sesuai minat dan bakatnya, (3) peningkatan mutu dan kualitas tenaga pengajar, sarana prasarana belajar termasuk perpustakaan dan laboratorium serta sumber-sumber belajar lainnya, (4) memberikan teladan dalam melaksakan school culture sehingga siswa memiliki karakter yang tangguh dalam menjalankan keyakinan agamanya, dan (5) menjalin kerjasama antara sekolah dan masyarakat dalam meningkatkan mutu sekolah.

Sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Dalam konteks ini, pada prinsipnya model pengembangan sekolah full day yang dikembangkan oleh daerah maupun perorangan (yayasan) dicetuskan sebagai upaya untuk meningkatkan akses masyarakat, khususnya siswa dari keluarga miskin atau kurang mampu terhadap pendidikan yang berkualitas dalam rangka penuntasan wajib belajar sembilan tahun.

Nampaknya, dalam pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis, elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image” di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas. Padahal, sebenarnya dengan sistem ini hanya satu atau dua peserta didik saja yang dapat masuk dalam komunitas yang bernama sekolah full day.

Hemat penulis, full day school seharusnya tidak hanya bersifat transaksional yang semata-mata memuaskan kebutuhan stakeholders sekolah, melainkan lebih dari itu yang bersifat transformasional yang sangat menekankan prestasi sekolah pada pada tataran unggul (excellence), atau jika memungkinkan, diarahkan pada tataran prestasi yang lebih tinggi levelnya. Dengan kata lain, sekolah full day itu ditandai oleh peningkatan yang terus menerus prestasi akademik maupun non akademik.

Pelaksanaan full day school membutuhkan pemikiran-pemikiran analitis dalam penyusunan rencana strategik yang membutuhkan kemampuan prediktif berdasarkan data dan fakta, sehingga kebutuhan-kebutuhan pelaksanaannya dapat terpenuhi pada saat ini dan masa yang akan datang. Namun kunci keberhasilan full day school ini sebenarnya terletak pada kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam mengejawantahkan konsep-konsep ideal. Dengan kata lain, reliabilitas personal dan profesional para pengelola sekolah menjadi faktor dominan bagi tercapainya tujuan sekolah serta memberi kontribusi terbesar bagi peningkatan akses masyarakat, khususnya masyarakat miskin.

0 komentar: